top of page

PARANOID

  • Renungan Menara Kembar
  • Oct 19, 2020
  • 3 min read

Selasa, 20 Oktober 2020

H. Muhtar Gandaatmaja




Bukan tanpa alasan kalau Gus Dur dengan ringan tiada beban mengatakan, “kenapa takut , PKI aja ditakuti.” Demikian penggalan jawaban Gus Dur atas pertanyaan Andy F. Noya, dalam Kick Andy, di sebuah TV Swasta, beberapa tahun sebelum Gus Dur Wafat. Beliau wafat 30 Desember 2009. Jawaban pendeknya itu mencerminkan sikap lugas, jujur dalam berpikir, tegas, berani, percaya diri dan tidak bicara “murahan” ngobral isu PKI untuk kepentingan politik.


Sebelum tumbang, PKI merupakan salah satu Partai Politik yang kuat di Indonesia. Ketika partai lain lemah, PKI melejit di pemilu daerah 1957-1958. Mampu menggeser perolehan suara PNI (cikal bakal PDI Perjuangan) dan mengimbangi Masyumi. Anggotanya ada dimana-mana (seperti Golkar di masa Orde Baru) di TNI (ABRI: Angkatan Darat, Laut, Udara dan Kepolisian), Birokrasi, Buruh, Kelompok Tani dan Nelayan, ormas keagamaan dan diperkuat penguasa waktu itu dengan sikap tidak tegas menyatakan partai terlarang, bisa digilas sampai ke akar-akarnya oleh ABRI dan Rakyat. Kekuatannya itu real, tapi hancur. Sekarang, wujud organisasinya saja tidak ada, apa yang ditakutkan?


Benarkah pernyataan Mayor Jenderal TNI (Purn.) KZ bahwa kalau dihitung dengan anak cucunya, sekarang, ada 60 juta PKI di Indonesia? Sebagaimana ia sampaikan dalam acara diskusi kebangsaan Presidium Alumni 212, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat 2 Maret 2018.


(Jawa Pos.Com 3 Maret 2018). Ataukah itu sekedar halusinasi, interpretasi atau konklusi pribadi bahwa parpol pemenang pemilu dan ormas Islam yang bersikap ramah dengan keluarga mantan PKI itu adalah identik PKI? Bisa jadi kalau cara berpikirnya seperti itu . Namun, model berpikir seperti itu irasional, absurd alias konyol dan bukan cara berpikir seorang intelektual. Dalam memori ingatannya masih tersimpan “dendam masa lalu.” Akal sehatnya tertutupi kabut kebencian, ketakutan yang berlebihan dan kecemburuan atas kemenangan orang lain: paranoid!


Sudah menjadi candaan, katanya, di Indonesia dulu hanya mengenal dua musim; musim hujan dan kemarau. Sekarang, setelah salah seorang dari partai peserta pemilu jadi Presiden dan partainya menjadi pemenang Pemilu, jadi nambah satu musim lagi, yaitu musim isu kebangkitan PKI, yang terjadi pada periode akhir September sampai awal Oktober. Entahlah September-Oktober tahun depan musim itu akan datang lagi atau tidak.


Walaupun umumnya para tokoh nasional baik pensiunan maupun aktif, memegang teguh prinsip “mikul dhuwur mendhem jero” (Menghormati dan menjunjung tinggi nama baik orang tua dan menyimpan rapat-rapat segala aib dan kekurangan masa lalunya), termasuk yang punya prinsip itu adalah Mantan Danjen Kopasus, Jendral TNI (Purn.) Agum Gumelar, sekarang Ketua Pepabri, yang mengamini Alisa Wahid bahwa isu kebangkitan PKI yang dihembuskan adalah isu basi. Atau seperti apa yang disampaikan Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo, Gubernur Lemhanas bahwa sebaiknya isu itu tidak menjadi komoditas politik, bagi “para petualang politik,” isu kebangkitan PKI itu penting untuk meraih simpati masyarakat.


Sebagai tindak kewaspadaan agar peristiwa kelam itu tidak terulang lagi, tidak masalah, malah bagus peristiwa sejarah itu diperingati. Bisa diisi dengan diskusi, seminar dan lain-lain. Menghadirkan para ahli sejarah, politik (bukan poli-tikus) dan ahli hukum yang merujuk kepada dokumen yang bisa dipertanggungjawabkan. Membahas semua buku sejarah secara terbuka. Mengedukasi masyarakat agar sadar akan hak dan kewajibannya terhadap Negara. Inilah gerakan moral.


Yaitu suatu upaya atau perjuangan dengan cara “bagai mencabut rambut dari tepung.” Orang Sunda menyebut dengan cara “laukna beunang, caina herang.” Tak ada kamusnya, gerakan moral dilakukan dengan membabi buta menghalalkan segala cara dan membuat kerusakan di sana sini. Mencapai tujuan besar mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak mungkin cukup hanya dengan mewajibkan nonton sebuah film dokumenter yang kontroversial. Membangun persatuan dan kesatuan bangsa, mustahil terwujud dengan cara memprovokasi masyarakat agar marah. Tak ada gerakan moral yang dihembuskan atas dasar kebencian.


“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Maidah: 8). Wallahu A’lam!


Penulis:

Ketua DKM Masjid Raya Bandung Jabar

Ketua Yayasan al-hijaz Aswaja Bandung

Comments


(022) 4240275

©2020 by MRB Online. Proudly created with Wix.com

bottom of page