VIGILANTE
- Renungan Menara Kembar
- Oct 5, 2020
- 3 min read
Oleh : H. Muhtar Gandaatmaja

MRB_Online-Seorang perempuan muda cantik, sebut saja “Bunga,” adalah “Bunga Desa.” Muda dan Tua berlomba mendekatinya. Namun, satu pun tak ada yang dipilih. Bunga bukan saja cantik dan baik, lebih dari itu ia “agamis” alias “nyantri.” Bukan perempuan murahan yang mudah dirayu. Kalau tidak karena kematian suami, buatnya tak ada rumusan cerai. Satu suami untuk selamanya. Almarhum suaminya adalah orang ‘Alim dan Soleh.
Di suatu malam minggu, ada pemuda ganteng bertamu ke rumahnya. Kehadiran tamu tak diundang itu diketahui “Si Dadap,” pemuda sekitar yang turut naksir Bunga. Dipandang dari berbagai kriteria, jelas, tamu itu jauh lebih unggul dibanding dirinya. Rasa “inferior” merasuki hatinya. Nyalinya ciut, “keok memeh dipacok,“ (kalah sebelum berperang). Dadap dibakar api cemburu. Ia memprovokasi pemuda lain bahwa telah masuk ke rumah Bunga laki-laki yang bukan mahromnya, tanpa izin aparat setempat, padahal menurut aturan dalam waktu 1x24 jam tamu wajib lapor. Bumbu fitnah atas rasa cemburu ditaburkan ke semua orang bahwa Kampung mereka tercemar, terhina dan terkotori oleh dosa dan maksiyat.
Salah seorang yang hadir adalah Mr X. Laki-laki paruh baya, yang paling ngebet mendapatkan Bunga, menambah panas suasana. Mr. X berorasi: “Kampung kita ternoda dosa oleh orang asing yang masuk rumah janda tengik, sok cantik dan jual mahal. Sebagai bentuk cinta dan tanggung jawab kepada Kampung Halaman, kita harus bertindak!” “Setuju???” Suaranya lantang. “Setuju!!!” jawab yang hadir. “Takbiiiir!!!” “Allahu Akbar!!!” Diiringi suara takbir yang menggelegar dan beringas sipemuda diseret, digebug rame rame dan disiksa dengan ratusan bogem mentah. Sang tamu janda itu ajal. Bunga selamat, diamankan Ibu-Ibu pengajian. Namun rumahnya rusak berat.
Setelah diproses aparat, tamu itu ternyata keponakannya. Anak kandung kakaknya, dari luar kota numpang nginap di rumahnya. Nasi telah menjadi bubur. Sesal kemudian tiada guna. Korban telah dikuburkan. Inilah tindakan main hakim sendiri. Menegakkan hukum dengan melanggar hukum: vigilante.
Sumber utama kasus ini: Pertama, adanya penyakit hati, “jealous, “ cemburu atau iri hati. Berkembang “dengki” atau “hasad.” Pada level paling rendah iri hanya sekedar rasa ingin memiliki atas apa yang dimiliki orang lain. Orang Sunda menyebut “Kabita.” Sampai tahap ini masih normal dan tidak berbahaya. Level berikutnya iri bukan hanya sekedar “kabita, ” tapi ingin memiliki apa yang dimiliki orang lain dan orang lain tidak boleh memilikinya. Level ini sudah “lampu kuning” meningkat ke berbahaya. Yang berbahaya adalah nafsu merebut apa yang dimiliki orang lain dan pemiliknya harus dibinasakan. Terhadap orang-orang seperti ini Rasulullah SAW bersabda: “Jagalah dirimu dari hasad, karena sesungguhnya hasad itu merusak kebaikan. Sebagaimana api memakan kayu bakar” (HR. Abu Daud)
Kedua, malas melakukan “tabayyun,” klarifikasi. Padahal Al-Qur’an menyuruh hamba-Nya melakukan proses telaahan, peninjauan, kajian dan bertanya kepada sumbernya. (QS. Al-Hujurat:6). Dari data Kemenkominfo diketahui bahwa ada sekitar 800.000-an situs, di Indonesia, terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Dimanfaatkan oknum tertentu untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya dengan cara menyebarkan konten-konten negatif yang menimbulkan keresahan dan saling mencurigai di masyarakat.
Penyebab terbesar dan terbanyak penyulut orang bertindak main hakim sendiri, dibanding karena terdorong oleh emosi cemburu, adalah karena alasan agama. Memaknai jihad dan dakwah sekehendak selera. Salah satu contoh kisah tragis, trenyuh dan menyayat hati menimpa seorang Ibu pedagang kupat tahu. Ia berjualan di siang hari Bulan Romadlon. Nekad berjualan bukan untuk memperkaya diri, sekedar menyambung hidup dan biaya sekolah anaknya terpenuhi, karena bantuan dari Mas Menteri Diknas tak muncul datang.
Tengah asik melayani pembeli, segerombolan berseragam putih dengan gemuruh suara takbir tanpa ba bi bu, langsung menghancurkan dagangannya dan warung warung lain yang buka disekitarnya. Ia tak berdaya melakukan perlawanan. Hanya bisa diam seribu bahasa dengan linangan air mata kepedihan yang teramat dalam, barang milik satu-satunya sebagai alat berjuang mempertahankan hidup hancur. Badannya lunglai lemah, keringat dingin bercucuran deras. Ia ambruk pingsan.
Alasan para perusak, katanya, dalam upaya menjalankan syari’at Islam dan memulyakan bulan Suci Ramadlan.
“Duh Gusti, benarkah tindakan semacam ini atas dasar memulyakan ajaran Mu yang agung dan tiada yang menandingi keagungannya…?”
Penulis:
Ketua DKM Masjid Raya Bandung Jabar/ Ketua Yayasan al-hijaz Aswaja Bandung
Comments