Good Looking
- MRB Web
- Sep 19, 2020
- 3 min read
H. Muhtar Gandaatmaja
Bila tidak dihubungkan dengan hal lain, istilah “Good Looking,” biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Good Looking artinya “indah dipandang mata,” berpenampilan menarik, ganteng, cantik, menarik, cerdas, energik, terampil dan mempesona. Dengan kelebihannya itu mereka dimanfaatkan. Baik oleh pebisnis semacam Bank, Mall, Show Room, atau bisnis property maupun oleh kelompok tertentu dengan tujuan tertentu pula.
Membaca beberapa peristiwa masa lalu di Tanah Air, baik kasus bom bunuh diri di Sidoarjo-Jatim yang melibatkan adik kakak berusia belia maupun yang menusuk Pak Wiranto di Banten, apa yang disampaikan Menag RI, Jendral TNI (Purn) Fakhrul Razi tentang ada anak muda yang berpenampilan menarik, bisa Bahasa Arab dan hafal Qur’an menjadi salah satu pintu masuk faham radikalisme, ada benarnya walaupun tidak semuanya benar.
Berikut beberapa contoh anak muda yang terlibat terorisme: Kasus Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Kedubes Australia, Bom Gereja Injil Solo dan berbagai kasus lainnya, semua pelakunya anak muda. Abdul Azis misalnya, alias Imam Samudra, pada usia 21 tahun (kelahiran 1969) pergi ke Afghanistan ikut perang. Transit Malaysia masuk Pakistan kemudian Afghanistan, di saat Afghanistan berperang dengan Uni Soviet, 1990. Biaya perjalanan ke sana diperoleh dari penjualan perhiasan ibunya. Dua belas tahun kemudian, usia 33 tahun, ia terlibat aksi Bom Bali I (tahun 2002).
Pelaku muda lainnya bernama Heri Kurniawan, pelaku bom Kedubes Australia, tahun 2004, usianya 26 tahun. Eksekutor Bom Bali II (2005), Ayip Hidayat, Jawa Barat, usianya 25 tahun. Salik Firdaus, Jawa Barat, usianya 23 tahun. Ia alumni Pesantren di Jabar dan Jateng menjadi guru Madrasah di Jabar. Pelaku ke-3 Bom Bali II, bernama Wisnu asal Jawa Tengah, usianya ketika itu 23 tahun. Kasus anak muda pembom Gereja dan Kantor Polisi belum masuk dalam tulisan ini.
Ucapan Menag RI bahwa radikalisme ada yang masuk lewat pintu orang yang Good Looking, sebaiknya tidak perlu ditanggapi secara emosional. Tidak harus tersinggung, merasa dilecehkan dan membalasnya dengan caci maki, seolah datangnya dari musuh, beliaupun seorang Muslim. Balas dengan cara yang baik, datangi sebagai kunjungan silatrurahmi, beri nasihat.
Faktanya memang begitu, radikalisme dan intoleransi bisa masuk menerobos ke berbagai pintu. Dalam acara sertijab Menhan RI dari Ryamizard Ryacudu ke Prabowo Subianto, Ryamizard menyampaikan informasi kepada prabowo bahwa di TNI yang sudah terpapar radikalisme tidak kurang 3%, Mahasiswa dan BUMN lebih banyak. Diharapkannya agar pak Prabowo bisa menyetopnya (detiknews, Kamis, 24 Okt 2019}. Melihat ketatnya aturan, doktrin dan sumpah prajurit di kesatuan ini, kaget juga mendengarnya, kok bisa? Itulah kenyataannya. Radikalisme dan Intoleran seperti narkoba, bisa masuk ke semua lapisan masyarakat apa saja dan bisa dikonsumsi siapa saja.
Para penghapal Qur’an, sekarang, adalah manusia biasa yang tidak lepas dari sifat kemanusiaannya. Bukan Malaikat dan bukan Nabi. Kisah tentang pembunuh Sayidina Ali Karomallahu Wajhah menjadi catatan sejarah tersendiri. Sayidina Ali tidak dibunuh orang Kafir, tapi oleh seorang muslim bernama Abdurrahman ibn Muljam. Yang di siang hari berpuasa, malam hari qiyamul lail dan hafal Al-Qur’an 30 juz. Terjadi di hari dan bulan Suci, Hari Jumat tanggal 19 Ramadhan 40 Hijriyah, ditikam saat akan mendirikan salat subuh.
Nyawa sahabat besar yang telah memperoleh jaminan surga dari nabi Muhammad SAW itu melayang di tangan saudara semuslimnya, Ibnu Muljam. Teriakan Ibnu Muljam: “Hukum itu milik Allah wahai Ali, bukan milikmu dan sahabatmu" menggema di Masjid Kufah-Irak. Sayidina Ali Bin Abi Thalib dibunuh dengan “meng atas nama kan” hukum Allah dan demi surga yang diyakini oleh sang pembunuh.
Masih ingatkah kasus pelecehan sexual Mahasiswa sebuah Perguruan Tinggi Islam Swasta di Yogyakarta? Korban sampai saat ini masih trauma akan kejadian itu. "Pelaku pelecehan seksual ini mahasiswa berprestasi, penghafal Alquran, jadi motivator di mana-mana, mengisi pengajian di masjid-masjid dan dipanggil ustadz," kata teman saya di PTS tersebut. Wallahu A’lam!
Penulis:
Ketua DKM Masjid Raya Bandung Jabar
Ketua Yayasan al-hijaz Aswaja Bandung
Comments