JAGA LEMBUR
- Renungan Menara Kembar
- Sep 21, 2020
- 2 min read
oleh : H. Muhtar Gandaatmaja

Beberapa kali ngobrol santai dengan Acil Darmawan Hardjakusumah, SH. Panggilan akrabnya “Kang Acil Bimbo,” baik di kediamannya di Perumahan Unpad Cigadung atau sesekali ketika beliau berkunjung ke Masjid Raya, dalam pembicaraan dengannya selalu saja ada pesan yang diselipkan agar kita peduli “Jaga Lembur Jaga Lingkungan Lestarikan Alam.”
Kata “Lembur,” bahasa Sunda, bahasa Indonesianya “Kampung.” Setara Village bahasa Inggris atau Qoryah bahasa Arab. Bukan City atau Madinah. Namun demikian, “Jaga Lembur” yang dimaksud Kang Acil adalah agar masing-masing individu atau kelompok penghuni Kampung, Desa, Kota, Provinsi, Negara atau tempat dimana pun dia tinggal di seluruh Tanah Air Indonesia, wajib peduli dan perhatian terhadap keamanan, kenyamanan, keindahan, kelestarian alam dan kebudayaannya.
Ngobrol ringan dengan beliau biasanya nyantai, kadang tertawa-tawa. Tapi ketika nyinggung persoalan “Lembur” nya raut wajahnya berubah serius. “Akang sedih,” ujarnya. Bandung yang dijuluki “Parijs van Java, ” Kota Kembang, Kota Tempat Midang, (tempat jalan jalan atau pelesiran dan belanja) yang sehat karena udaranya sejuk, bunga-bunga penghias kota tertata rapi, kebersihannya terjaga, “wargana someah hormat ka semah,” (warga yang ramah dan hormat tamu), hidup rukun walau beda suku bangsa dan agama. Ormas keagamaan sejak dulu sudah ada, mereka berjalan masing-masing dengan baik. Tidak saling menghina, saling rendahkan apalagi saling mengkafirkan. Kini telah berubah!
“Terus bagaimana Kang, seharusnya kita berbuat untuk Negara dan Bangsa, terutama Kota Bandung?” Tanya kami ke kang Acil. Beliau tegas menjawab: “Rek kusaha deui imah sorangan ari lain ku sorangan dibebenah jeung dibenerkeun.”(Siapa lagi yang mau ngurus dan membenahi rumah kita kalau bukan kita sendiri), katanya.
Program “Jaga Lembur” nya kang Acil, sepatutnya disambut baik oleh warga Bandung khususnya, penduduk Jabar atau rakyat Indonesia pada umumnya. Yaitu mengembalikan budaya ramah tamah , gotong royong, mengamankan masing-masing kampung halamannya, silih ajenan, silih hargaan (saling hargai dan saling muliakan).
“Menurut akang,” katanya, “modern” tidak harus segala-galanya menyontoh barat. “Islami” tidak harus sama seperti orang Arab. Bahan dan model pakaian boleh pakai jeans, batik atau pakai apa saja. Tapi “ kudu alus ka Gusti jeung alus ka jelema.” (harus baik kepada Allah dan baik kepada sesama manusia). Modern tidak harus meninggalkan budaya kita selama budaya itu baik. Dan jangan asal baru kalau tidak baik. “Betul kang,” kami menimpali. Dalam kaidah ushul fiqh, yang sering disampaikan para santri, kurang lebih sama dengan apa yang disampaikan kang Acil, yaitu “Al-Muhafazhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdu bil jadidil ashlah.” (Memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik).
Obrolan di atas terjadi sekira Agustus 2019, sebelum kejadian covied-19 di Bandung merumuskan rencana Bimbo mengisi pentas seni pada acara Hari Santri Nasional yang jatuh tiap tanggal 22 Oktober. Hari “H” nya, 27 Oktober 2019, kami tidak bisa mendampingi Kang Acil, Kang Syam, Kang Jaka dan personal Bimbo pentas di MRB Alun-Alun Bandung, masih terasa lelah pulang dari bepergian jauh. Terima kasih Kang Acil dan keluarga besar Bimbo, semoga panjang usia, sehat, bahagia dan hidup berkah selamanya. Di dalam mobil yang membawa kami pulang, terdengar alunan lagu pavoritku, suara kang Acil yang bariton dan empuk, berjudul “Sendiri. ” Wassalam
Penulis:
Ketua DKM Masjid Raya Bandung (MRB) Jabar
Ketua Yayasan al-hijaz Aswaja Bandung
Comments