top of page

SUBJEKTIF

  • Renungan Menara Kembar
  • Jun 23, 2020
  • 2 min read

H. Muhtar Gandaatmaja


Rubrik Khusus Ketua DKM MRB setiap hari Selasa

MRB_Online-Lukmanul Hakim mengajak  putranya jalan-jalan. Keledai peliharaannya tidak lupa ia tuntun. “Anakku dengarkan,   sebentar lagi akan ada orang yang bicara tentang kita.” Ujar Lukman memulai pembicaraan.  Benar, baru beberapa puluh meter mereka melangkah terdengar suara: “Orang gak tahu diuntung, buat apa keledai di bawa  gak ditunggangi,” Ujar orang yang dilewati Lukman.  Lukman pun  naik ke atas keledai, keledai dituntun anaknya. Baru  beberapa hela nafas di atas punggung keledai, orang yang berpapasan dengannya berucap: “Dasar orangtua gak punya perasaan,  anaknya jalan kaki.” Lukman turun disuruhlah  anaknya naik. “Dasar anak tak beradab  orangtua jadi laden,”  Celoteh orang di sekitarnya. Lukman merenung,  begini salah begitu juga salah. Ya,  sudah kalau begitu  naiki saja berdua, pikir Lukman. Ujaran mereka lebih parah, sewot: “Dasar goblok, keledai kecil dinaiki berdua!”. Lukman dan putranya turun lagi, berjalan seperti ketika pertama berjalan. “Itulah manusia,” kata Lukman setengah berbisik kepada putranya Masuk kelompok mana kita? Lukman dan putranya kah, atau masuk golongan para “komentator”?  Bahagialah yang  masuk kelompok Lukman, asal sabar.  Seandainya perbuatan kita benar, tidak merugikan orang lain dan kitapun tidak seperti mereka menjadi penggunjing dan pengumpat, namun kita tetap jadi bahan gunjingan, biarkan saja. Yakinlah dosa kita diambil mereka dan pahala mereka diserahkan ke kita. Kalau kita melawan? “Podo edane!” Kelompok kedua jadi pilihan?  Siapkan tissue kering yang banyak. Sepanjang hidup akan dibanjiri  air mata penyesalan. Pahala  sholat, puasa, zakat, haji, umroh, infaq dan shodaqoh yang sudah ada digenggaman,  semuanya musnah  dirampas oleh orang yang kita hina,  kita rendahkan, kita fitnah, caci maki,  dan kita adu dombakan.  “Sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu sehat/baik, maka semua anggota tubuh akan baik. Apabila segumpal daging itu buruk, maka semua anggota tubuh akan menjadi buruk pula. Segumpal daging itu adalah hati, qolbun.”   (H.R. Bulkhori Muslim). Gerak mulut  bisa mewakili hati, bisa sombong bisa tawadlu.  Perkataan pun bisa  membangun bisa pula menjatuhkan. Lisan buruk karena buruk hatinya. Hati yang   diliputi  noktah hitam, sinar kebenaran  dan obyektifitas tidak  tembus terhalang noda. Keluar dari  ucap dan lakunya produk amal negatif.  Hatinya rusak digerogoti “egonya”, “ananiyah”, sikap  keakuan yang  berlebihan. Menilai orang  gak pernah obyektif. Di matanya orang lainlah yang  salah, jelek dan brengsek. Yang baik, benar dan mulia adalah diri dan kelompoknya, kenapa?  Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”. (Q.S. Al-Baqarah:10). Berpikir subyektif   secara perlahan mesti dikikis habis dengan cara belajar berpikir obyektif. Menilai sesuatu bukan atas dasar prasangka, perasaan enak enggak enak, suka atau tidak suka, melainkan atas dasar fakta dan data yang bisa  dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tidak boleh ” apriori.”  Yaitu menilai orang atas dasar suka dan tidak suka. “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Maidah: 8).  Wallahu A’lam Penulis: Ketua DKM Masjid Raya Bandung Jabar - Ketua Yayasan al-hijaz Aswaja Bandung

Comments


(022) 4240275

©2020 by MRB Online. Proudly created with Wix.com

bottom of page