top of page

Rubrik Khusus Ketua DKM Setiap Selasa

  • Renungan Menara Kembar
  • Oct 26, 2020
  • 3 min read

Updated: Oct 26, 2020


Rubrik Khusus Ketua DKM setiap Selasa

(Gus?) NUR


Sugi Nur Raharja bukan siapa-siapa, ia manusia biasa seperti kita. Tempat dimana ia di lahirkan ada dua versi. Di Banten dan Bantul Yogyakarta, tanggal 11 Februari 1974. Kemudian pindah ke Desa Gempeng, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Pekerjaannya sebelum aktif “berpidato masalah agama” sebagai penjual obat keliling dan pemain debus seperti ayahnya. Kekuatan bicaranya terlatih dari kebiasaan jualan obat keliling. Kini, tinggal di beberapa tempat; antara lain di Malang-Jawa Timur dan Palu-Sulawesi Tengah.

Yang membuat penasaran, terutama bagi orang pesantren, kenapa Sugi Nur dipanggil dengan sebutan “Gus Nur?” Berbagai macam sumber informasi dibuka. Namun tak dijumpai profil pribadinya dengan lengkap dan pasti. Background pendidikannya dari Sekolah mana dan mondok di Pesantren mana? Tidak jelas. Siapa yang memberi dia gelar “Gus” juga tidak diketahui.

Panggilan Gus, di kalangan NU, lengkapnya dari kata “ Bagus.” Lazim disematkan masyarakat pesantren, sebagai panggilan sayang dan hormat kepada “Putra Mahkota,” yaitu putra Kiai atau Ulama besar yang umumnya punya pondok pesantren. Terkenal di wilayah Jawa Timur atau Jawa Tengah. Di Jawa Barat, biasa dipanggil “Ceng” atau “Aang.” Mereka amat dihormati dan dimulyakan seperti “nyekel endog beubeureumna” (dijaga dengan baik), karena mereka dipersiapkan kelak sebagai sesepuh pesantren manakala kiai sepuh ”mangkat.”

Ada beberapa kemungkinan Sugi Nur Raharja dipanggil “Gus Nur.” Pertama, ia sendiri menggelari dirinya dengan gelar Gus. Sebagaimana lumrah zaman sekarang, “meng-Ulama-kan,”meng- Kiayi-kan,” “meng-ustad-kan” atau “mem-profesor-kan diri sendiri.” Sugi Nur anak tukang “debus,” (semacam ilmu kebal terhadap senjata tajam, air keras, dan lain-lain berasal dari Banten). Ia Bukan putra Kiai. Belum pernah mondok di Pesantren layaknya para Kiai menuntut ilmu.

Kedua, lingkungan yang simpati dengannya memposisikan dia sebagai ulama sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umum DPP FPI, H. Ahmad Sobri Lubis, yang mengatakan bahwa Indonesia sedang dilanda gempa bumi karena pemerintah “mengkriminalisasi ulama,”salah satunya kriminalisasi terhadap Gus Nur. (Suara.com, Senin, 19 Oktober 2020). Pernyataan ini kadang menjadikan aparat penegak hukum gamang dan serba salah. Kalau ada pihaknya diusut secara hukum, selalu saja tuduhannya mengkriminalisasi ulama.


Persoalan utamanya bukan pada masalah ia gus atau bukan. Terserahlah, suka sukanya ia mau bergelar apa. Yang jadi persoalan karena perilaku dan ucapannya menyakitkan. Tidak menghormati hak hak sesama manusia yang seharusnya saling memulyakan. Ia dengan tidak sopan melintas batas masuk ke wilayah privasi rumah tangga orang lain.

Bukan sekali dua kali Sugi Nur menghina Ulama NU dan beberapa lembaga di bawah naungannya seperti Ansor atau Banser. Apa haknya ia menghina dengan kata-kata: “NU sopirnya mabuk, kondekturnya teler, kernetnya ugal-ugalan, dan isi busnya PKI, liberal, dan sekuler.” Dalam acara Talk Show dengan Prof.Dr. Refly Harun S.H., M.H, LLM., bekas Komisaris PT. Pelindo yang dicopot Erick Thohir. Lebih dari itu, salah seorang kelompoknya Sugi Nur, amat biadab omongannya, terhadap Ulama panutan Nahdhiyin dipanggil babi.

Jika Sugi Nur, sebagaimana orang-orang di lingkarannya, mengambil “posisi berhadapan” dengan pemerintah dan dengan siapa saja yang diangap pendukungnya, itu bagus sebagai penyeimbang. Cara itu sah dan diperbolehkan menurut undang-undang. Yang dilarang menurut undang undang negara, diharamkan syariat Islam dan tercela menurut akhlak Islam adalah ujaran kebencian, sumpah serapah, caci maki, fitnah dan penghinaan. Apalagi yang mengucapkannya seseorang yang mengaku sebagai Gus, Kiai, Ulama atau Ustadz. Mestinya ia berucap dan berbuat “bil hikamati wal mauizhotil hasanah “ (Q.S. An-Nahl:125)

Benarlah Rasulullah Saw dengan sabdanya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.“ (HR. Bukhori).

Wallahu A’lam!

Penulis:

Ketua DKM Masjid Raya Bandung Jabar

Ketua Yayasan al-hijaz Aswaja


 
 
 

Recent Posts

See All

Comments


(022) 4240275

©2020 by MRB Online. Proudly created with Wix.com

bottom of page