“Ulama itu macam-macam.” Kelakar Gus Mus, KH. Ahmad Musthofa Bisri, Pimpinan Ponpes Raudlotul Tholibin Rembang Jawa Tengah. Menurutnya, ada ulama versi masyarakat, pers, pemerintah dan politisi, Ulama MUI dan ulama versi sendiri.
Ulama versi masyarakat, yaitu ulama yang karena ilmu dan akhlaknya masyarakat menyebutnya ulama. Ulama pers, adalah ulama yang karena sering di tulis oleh wartawan sebagai kiai atau ustadz kemudian ia terkenal, jadilah ulama. Ulama versi pemerintah atau politisi adalah ulama “tiban,” ulama dadakan. Biasanya muncul memenuhi kepentingan sesaat ketika Pilpres, Pileg atau Pilkada. Tampang harus meyakinkan umat Islam, maka dipakailah sorban dan peci putih, pidato dengan satu dua ayat walau salah, disebutlah ulama atau santri milenial. Ulama MUI, ada yang memang ulama, ada juga karena memang ia ada di dalam lembaga itu, tukang tik pun disebut ulama. Dan terakhir, menurut candaan Gus Mus, adalah ulama produk diri sendiri. Ia sendiri yang membubuhi gelar Kiayi, Gus, atau apa saja depan namanya.
Pada saat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk, kemudian diresmikan Presiden Soeharto (?), 7 Desember 1990 di Malang Jawa Timur, sempat mengemuka pembicaraan mengenai Ulama dan cendekiawan. Apakah cendekiawan itu ulama atau ulama itu cendekiawankah? Sebagian pendapat mengatakan, karena Ulama itu artinya orang-orang yang berilmu, dan ICMI anggotanya terdiri atas orang-orang yang berilmu, maka pengurus ICMI adalah Ulama.
Dari makna lughowi, (etimologi) para Kiai Pesantren, menerima pendapat itu, bahwa setiap yang berilmu adalah Ulama, termasuk Albert Einstein yang terkenal itu, bisa saja disebut ulama. Namun dari sisi istilahi, (terminologi) para Kiai tidak menyetujuinya kalau semua yang berilmu disebut ulama. Menurut mereka, gelar ulama bukan sekedar keren-kerenan untuk mengambil simpati umat, ulama punya dasar pijakan yang melekat dalam dirinya, yaitu di samping, ‘alim dan arif’, mewarisi sifat-sifat akhlak Rasulullah Saw yang terpuji. Dan, prinsip “…innamā yakhsyallāha min 'ibādihil 'ulamā`…,” …Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama, (Q.S. Fathir: 28) menjadi pegangan utama.
Sewaktu Alm. Prof.DR. BJ. Habibie didaulat jadi Ketua ICMI periode pertama, pada awalnya beliau menolak menjadi ketua ICMI, sebagian ada yang menyebutnya ulama karena keilmuannya yang luar biasa, Habibie menolaknya: “Saya bukan Kyai, bukan pula manusia ahli agama. Tetapi saya sadari bahwa di belakang ilmu pengetahuan, manusia harus mempunyai iman,” katanya. (sumber bacaan: https://tirto.id/eh24).
Habibie, semoga Allah merahmatinya, adalah manusia komplit. Ilmuwan dunia yang mumpuni, rendah hati, negarawan dan berakhlak mulia. Memosisikan dirinya sebagai manusia biasa, bukan kiai dan ahli agama. Orang saleh umumnya seperti itu, tidak gila jabatan dan gelar apapun, termasuk Prof. DR. Muhammad Qiraish Shihab. Ketika ditanya kenapa tidak mau dipanggil Habib? “Ilmu saya belum banyak dan akhlak saya belum bagus, tak layak saya bergelar itu.” Katanya merendah.
Rasulullah SAW menasihati Muadz bin Jabal: “Ikutilah Nabimu, hai Mu‘adz. Tetaplah berkeyakinan walau dalam amalmu terdapat kekurangan, hentikan lisanmu mencela saudara-saudaramu, cukuplah akibat dosamu untukmu sendiri, jangan bawa akibat dosa-dosa itu kepada saudara-saudaramu, jangan bersihkan diri dengan mencela saudara-saudaramu, jangan mengangkat diri dengan merendahkan saudara-saudaramu, jangan riya pada orang lain dengan amalmu, sebab Allah adalah Dzat Pemberi taufik” (Sumber: Tanbih al-Ghafilin)
Dimata masyarakat ulama dipandang juga sebagai guru yang menyiarkan pembelajaran tentang agama Islam yang umum dan luas. Ulama juga sering kali dilibatkan dalam acara ke pemerintahan tidak hanya mengenai agama tapi mengenai sosial juga.
Dimata masyarakat ulama dipandang juga sebagai guru yang menyiarkan pembelajaran tentang agama Islam yang umum dan luas. Ulama juga sering kali dilibatkan dalam acara ke pemerintahan tidak hanya mengenai agama tapi mengenai sosial juga.