MRBWeb-Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ungkapan “salah kaprah” berasal dari dua suku kata, “salah” dan “kaprah.” Salah lawannya benar. Kaprah berasal dari bahasa Jawa artinya biasa, lazim atau lumrah. Jadi, salah kaprah adalah sesuatu yang salah, tapi karena dibiasakan menjadi sesuatu yang dianggap benar.
Beberapa contoh yang sering kita jumpai, misalnya,“….. Acara berikutnya adalah sambutan Ketua RW 16 Kelurahan Babakansari Kiaracondong Bandung, kepada Ketua RW waktu dan tempat kami silakan.” Kalimat ini salah. Tidak mungkin waktu dan tempat bisa diserah terimakan. Yang benar adalah “…kepada Ketua RW 16 kami silakan.” Mengurai singkatan “PP,” biasanya dikatakan “Pulang Pergi.” Yang benar adalah pergi dulu baru pulang. “Lain kali saya datang,” Katanya. Yang benar “kali lain saya datang.”
Salah kaprah dalam berbahasa seperti contoh di atas tidak berisiko membahayakan apapun, baik terhadap hukum maupun keyakinan (syari’ah dan aqidah). Namun, jika salah kaprah dalam masalah agama tentu akan berbeda akibatnya.
“Kita sama-sama muslim, tidak boleh saling menyalahkan karena beda faham. Sudahlah, lakum dinukum waliyadin.” Kata seorang peserta kepada temannya dalam kelompok diskusi Remaja Masjid. Menggunakan ayat lakum dinukum waliyadin untuk masalah khilafiyah, tentu salah. Karena tekanan ayat ini ditujukan terhadap orang yang berbeda agama. “agamamu bagimu dan agamaku bagiku.” (Q.S. Al-Kafirun)
Salah kaprahkah Remaja Masjid itu dalam “berdalil?” Ya, salah! Tapi wajar. Mereka para belia berada dalam tahap proses “menjadi.” Ada kemauan saja sudah untung, kita wajib mengapresiasinya. Lain halnya kalau yang berujar “orang dewasa.”
Seorang santri menulis tentang si Fulan, penghina NU, yang kini sedang berurusan dengan aparat penegak hukum karena kata-katanya sarat fitnah , caci maki dan kebencian. Tulisan itu oleh teman penulis dishare kemana-mana. Tujuannya untuk mengimbangi produk medsos yang tidak bertanggungjawab dan tidak bermartabat. Isinya datar-datar saja, tidak ada kata-kata seperti yang diucapkan si Fulan. Penulis sekedar memanfaatkan “hak jawab,” yang di lindungi undang-undang sebagaimana diatur dalam UU Pers nomor 40 tahun 1999 dalam pasal 1, pasal 5, pasal 11, dan pasal 15.
Diantara sekian banyak pembaca, dua orang komentator, menanggapi artikel berjudul “(Gus?) Nur” dan “Kritik,” terkesan seperti tidak nyaman. “Si Fulan yang kita bicarakan sudah ditangani aparat untuk apa dibicarakan terus, mendingan membahas bagaimana memajukan organisasi kita,” kata komentator pertama. Anehnya, ketika “orangtuanya” dicaci maki ia tidak memberikan pembelaan sama sekali. Komentator kedua tidak banyak mengeluarkan kata-kata, hanya menyodorkan sepenggal ayat Qur’an surat Alfatah ayat 29, “….asyiddaau ‘alal kuffaari ruhamaau bainahum.”
Kepada para Ulama, Kiai dan para cerdik pandai, dipersilakan menelaahnya, apakah tepat ayat itu menjadi landasan pembelaan terhadap orang yang ucapan dan perbuatannya diharamkan ajaran Islam karena mencaci maki, fitnah dan menyebarkan kata kebencian? Tepatkah menempatkan kalimat “ruhamau bainahum” untuk orang yang oleh aparat berwenang, berdasarkan dua alat bukti yang cukup, disangkakan telah melanggar undang-undang?
Yang dilakukan PP Pemuda Ansor dengan cara menempuh jalur hukum agar si Fulan menjadi orang yang melek hukum dan terdidik, sudah tepat. Indonesia adalah Negara hukum. Sejengkel apapun kepada orang yang “mengadali” kita, kita tidak boleh main hakim sendiri. Apakah orang itu nantinya dinyatakan bersalah dan dipenjara, atau benar lalu ia dibebaskan? Biarlah hakim di pengadilan yang memutuskan. Si Fulan disangkakan melanggar 3 pasal. 1 pasal undang-undang Informasi dan Teknologi (UU ITE) dan 2 pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPP). Bukan kriminalisasi, tapi penegakan hukum.
Allah SWT berfirman: “……. Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. az-Zumar: 9). Wallahu A’lam!
Comments